From Qur'an || From Hadith

From Qur'an Surah Al-An'am (The Cattle) 6:164

Say: "Shall I seek a lord other than Allah, while He is the Lord of all things? No person earns any (sin) except against himself (only), and no bearer of burdens shall bear the burden of another. Then unto your Lord is your return, so He will tell you that wherein you have been differing."

None can bare the burden of another... meaning each of us are responsible for our own actions in this life. we better be sure that we are following the correct understanding of Islam, within the guidelines of the Qur'an and the Sunnah... cause on the day of judgment we will not be able to point fingers at any one else.. not even our sheikhs, imams or maulanas. May Allah (swt) give us the correct understanding of Islam and help us to abide by all aspects of it.

Friday, 27 June 2008

Nizamul Islam - Qadha' dan Qadar

BAB 2: QADHA` DAN QADAR
oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani


Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran :



Juga firman-Nya dalam surat Al-A'raaf:



Firman-Nya yang lain dalam surat Al-Hadid:




Begitu pula firman-Nya dalam surat At-Taubah :




Sementara firman-Nya dalam surat Saba':




Dan firman-Nya dalam surat Al-An'aam :




Juga firman-Nya dalam surat An-Nisaa’ :




Ayat-ayat di atas, begitu pula ayat-ayat serupa lainnya, sering dipakai oleh banyak orang (ahli kalam) pada saat membahas qadha` dan qadar, dan dijadikan dalil yang memberi kesan seolah-olah manusia ''dipaksa'' untuk melakukan perbuatannya. Dan semua perbuatan itu sebenarnya dilakukan kerana ''dipaksa'' oleh adanya Iradah dan Masyiatullah. Terkesan pula bahawa Allah telah menciptakan manusia sekaligus perbuatannya. Mereka berusaha menguatkan pendapat ini dengan firman Allah SWT :




Disamping itu mereka juga mengambil dalil dari hadits-hadits, misalnya sabda Rasul SAW :

"Ruhul Kudus (Jibril) telah membisikkan ke dalam kalbuku: 'Tidak akan mati suatu jiwa sebelum dipenuhi rizki, ajal, dan apa saja yang ditakdirkan baginya".


Masalah qadha` dan qadar memang telah memainkan peranan penting dalam mazhab-mazhab Islam (firqah theologi terdahulu, pent.). Ahli Sunnah memiliki pendapat, yang pada intinya mengatakan bahawa manusia itu memiliki apa yang disebut dengan kasb ikhtiari di dalam perbuatan-perbuatannya (tatkala manusia hendak berbuat sesuatu, Allah menentukan/menciptakan amal perbuatan tersebut, pent.). Manusia dihisab atas dasar kasb ikhtiari ini. Sedangkan Mu'tazilah memiliki pendapat yang ringkasnya mengatakan bahawa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya. Sebab, ia sendirilah yang menciptakannya. Adapun Jabariyah memiliki pendapat tersendiri, yang ringkasnya bahawa Allah menciptakan manusia beserta perbuatannya. Ia "dipaksa" melakukan perbuatannya dan tidak bebas memilih. Ibaratnya seperti bulu yang diterbangkan angin kemana saja.



Apabila kita meneliti masalah qadha` dan qadar ini, akan kita dapati bahawa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar pembahasan masalah ini. Ternyata, dasarnya bukan menyangkut perbuatan manusia, dilihat dari apakah diciptakan Allah atau oleh dirinya sendiri. Juga tidak menyangkut Ilmu Allah, dilihat dari kenyataan bahawa Allah SWT mengetahui apa yang akan dilakukan oleh hamba-Nya, yang Ilmu-Nya itu meliputi segala perbuatan hamba. Tidak ada hubungannya dengan Iradah Allah, yang Iradah-Nya dikatakan berkaitan erat dengan perbuatan hamba, sehingga perbuatan itu harus terjadi kerana adanya Iradah tadi. Juga tidak berhubungan dengan status perbuatan hamba yang sudah tertulis dalam Lauhul Mahfudz, sehingga tidak boleh tidak ia harus melakukannya sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya.



Memang benar, semua perkara tadi bukan menjadi dasar pembahasan qadha’ dan qadar. Sebab, semuanya tidak ada hubungannya dengan pembahasan ini dilihat dari segi pahala dan seksa. Perkara tersebut hanya berhubungan dengan 'penciptaan', Ilmu (Allah) yang meliputi segala sesuatu, Iradah-Nya yang berkaitan dengan segala kemungkinan-kemungkinan, dan hubungannya dengan Lauhul Mahfudz yang mencakup segala sesuatu. Semua ini merupakan pembahasan lain, yang terpisah dari topik pahala dan seksa atas perbuatan manusia. Dengan kata lain, tidak ada hubungannya dengan pertanyaan-pertanyaan:



'Apakah manusia itu dipaksa melakukan perbuatan baik dan buruk, ataukah ia diberi kebebasan memilih?' Juga, dengan pertanyaan : ‘Apakah manusia diberi pilihan melakukan suatu pekerjaan atau meninggalkannya, atau sama sekali tidak diberi hak untuk memilih (ikhtiyar)?'



Apabila kita mengamati seluruh perbuatan manusia, akan kita jumpai bahawa manusia itu hidup di dalam dua daerah. Daerah pertama adalah ''daerah yang mampu ia kuasai''. Daerah ini berada di bawah kekuasaan manusia dan di dalam ruang lingkup semua perbuatan yang timbul semata-mata kerana pilihannya sendiri.



Sedangkan daerah kedua adalah ''daerah yang menguasainya'' iaitu daerah yang manusia berada di bawah kekuasaannya. Pada daerah ini terjadi perbuatan dimana manusia tidak memiliki pengaruh sedikitpun, baik perbuatan itu berasal dari dirinya atau yang menimpanya.



Perbuatan manusia yang terjadi pada daerah yang kedua ini, tidak ada pengaruh mahupun urusan sedikitpun dengan manusia atas kejadiannya. Kejadian-kejadian di daerah ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, kejadiannya ditentukan oleh nizhamul wujud (Sunnatullah). Kedua, kejadiannya tidak ditentukan oleh nizhamul wujud, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, dan ia tidak akan mampu menghindarinya, namun tidak terikat dengan nizhamul wujud.



Mengenai kejadian yang ditentukan oleh nizhamul wujud, hal ini telah memaksa manusia untuk tunduk kepadanya. Manusia harus berjalan sesuai dengan ketentuannya, sebab manusia berjalan bersama alam semesta dan kehidupan, sesuai dengan mekanisme tertentu yang tidak kuasa dilanggarnya. Bahkan semua kejadian yang ada pada bagian ini muncul tanpa kehendaknya. Di sini manusia terpaksa diatur dan tidak bebas memilih. Misalnya, manusia datang dan meninggalkan dunia ini bukan kerana kemauannya. Ia tidak dapat terbang di udara, tidak boleh berjalan di atas air hanya dengan tubuhnya, tidak dapat menciptakan warna biji matanya, bentuk kepala dan tubuhnya. Semua itu diciptakan Allah SWT, tanpa ada pengaruh ataupun hubungannya sedikitpun dengan manusia. Allahlah yang menciptakan nizhamul wujud yang berfungsi sebagai pengatur alam ini. Alam pun diperintahkan untuk berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan-Nya tanpa kuasa untuk melanggarnya.



Akan halnya kejadian yang tidak ditentukan oleh nizhamul wujud namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, adalah kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya dengan terpaksa, yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak. Misalnya, seseorang terjatuh dari atas tembok lalu menimpa orang lain hingga mati. Atau, orang yang menembak burung tetapi secara tidak sengaja mengenai seseorang hingga mati. Atau, kecelakaan pesawat, kereta api, atau mobil, kerana kerusakan mendadak yang tidak boleh dihindari, sehingga menyebabkan tewasnya para penumpang, dan sebagainya. Semua kejadian yang berasal dari manusia atau yang menimpanya ini, walaupun di luar kemampuannya dan tidak terikat dengan nizhamul wujud, tetapi tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya. Oleh kerana itu dapat kita golongkan ke dalam daerah kedua, yakni daerah yang menguasai manusia.



Segala kejadian yang terjadi pada daerah yang menguasai manusia inilah yang dinamakan qadha` (keputusan Allah). Sebab Allahlah yang memutuskannya. Oleh kerana itu, seorang hamba tidak dimintai pertanggungjawaban atas kejadian ini, betapapun besar manfa'at atau kerugiannya. Walaupun disukai atau dibenci oleh manusia. Juga, meskipun kejadian tersebut mengandung kebaikan dan keburukan menurut tafsiran manusia --sekalipun hanya Allah yang mengetahui hakikat baik dan buruknya kejadian itu. Sebab, manusia tidak ikut pengaruh dalam kejadian tersebut, serta tidak tahu-menahu tentang hakikat dan asal-muasal kejadiannya. Bahkan ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha`, dan bahawasanya qadha` itu hanya berasal dari Allah SWT.



Sedangkan qadar[i], huraiannya dapat disemak sebagai berikut. Bahawasanya semua perbuatan, baik yang berada di daerah yang menguasai manusia ataupun di daerah yang dikuasai manusia, semuanya terjadi dari benda menimpa benda, baik benda itu berupa unsur alam semesta, manusia, mahupun kehidupan. Allah SWT telah menciptakan khasiat (sifat dan ciri khas) tertentu pada benda-benda ini. Misalnya, api diciptakan berkhasiat membakar. Sedangkan pada kayu terdapat khasiat terbakar. Pada pisau terdapat khasiat memotong dan demikian seterusnya. Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat bersifat baku sesuai dengan nizhamul wujud yang tidak boleh dilanggar lagi. Apabila suatu waktu terbukti khasiat ini melanggar nizhamul wujud, maka itu kerana Allah SWT telah menarik khasiatnya. Tetapi hal ini adalah sesuatu yang berada di luar kebiasaan dan hanya terjadi bagi para Nabi yang menjadi mukjizat bagi mereka. Seperti halnya pada benda-benda yang telah diciptakan khasiat-khasiatnya, maka pada diri manusia telah diciptakan pula berbagai gharizah (naluri) serta keperluan jasmani. Pada naluri (keinginan) dan keperluan jasmani ini juga telah ditetapkan khasiat-khasiat seperti halnya pada benda-benda. Misalnya, pada gharizah mempertahankan dan melestarikan keturunan (gharizatun nau') telah diciptakan suatu khasiat iaitu dorongan seksual. Dalam keperluan jasmani diciptakan pula khasiat-khasiat seperti lapar, haus, dan sebagainya. Semua khasiat ini dijadikan Allah SWT bersifat baku sesuai dengan sunnatul wujud (peraturan alam yang ditetapkan Allah).



Seluruh khasiat yang diciptakan Allah SWT, baik yang terdapat pada benda mahupun naluri serta keperluan jasmani manusia, dinamakan qadar (ketetapan). Sebab, Allahlah yang menciptakan benda, naluri, serta keperluan jasmani; kemudian menetapkan khasiat-khasiat tertentu di dalamnya. Khasiat-khasiat ini tidak datang dengan sendirinya dari unsur-unsur tersebut. Dan manusia sama sekali tidak memiliki pengaruh apapun. Oleh kerana itu, manusia wajib mengimani bahawa yang menetapkan khasiat-khasiat di dalam unsur-unsur tersebut hanyalah Allah SWT.



Khasiat-khasiat ini memiliki qabiliyah (potensi) untuk digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah. Boleh juga digunakan untuk berbuat kejahatan apabila melanggar perintah Allah dan larangan-Nya. Baik itu dilakukannya dengan menggunakan khasiat-khasiat yang ada pada benda, atau dengan memenuhi dorongan naluri (keinginan) dan keperluan jasmaninya. Perbuatannya itu menjadi baik apabila sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya, dan sebaliknya menjadi jahat apabila melanggar perintah dan larangan-Nya.



Dengan demikian, semua peristiwa yang terjadi pada daerah yang menguasai manusia itu datangnya dari Allah, apakah itu baik ataupun buruk. Juga, khasiat pada benda-benda, naluri (keinginan) serta keperluan jasmani datangnya dari Allah, baik hal itu akan menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Oleh kerana itu, wajib bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadha`, baik dan buruknya dari Allah SWT. Dengan kata lain, ia wajib meyakini bahawa semua kejadian yang berada di luar kekuasaannya datangnya dari Allah SWT. Wajib pula bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT, baik khasiat-khasiat tersebut akan menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Manusia sebagai makhluk tidak mempunyai pengaruh apapun dalam hal ini. Ia tidak punya pengaruh dalam masalah ajal, rizki, dan dirinya. Semua itu dari Allah SWT. Sama halnya dengan kecenderungan seksualnya yang terdapat pada gharizatun nau'. Atau kecenderungan memiliki sesuatu yang terdapat pada naluri (keinginan) mempertahankan diri (gharizatul baqa'). Atau rasa lapar dan haus yang ada pada keperluan jasmaninya. Semua itu datangnya dari Allah SWT.



Penjelasan di atas tadi adalah pembahasan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian pada daerah yang menguasai manusia dan pada khasiat-khasiat seluruh benda yang ada. Adapun daerah yang dikuasai oleh manusia, adalah daerah dimana manusia berjalan secara sukarela di atas nizham (peraturan) yang dipilihnya, apakah itu syariat Allah ataupun syariat-syariat lainnya. Dalam daerah ini, terjadi peristiwa dan perbuatan yang berasal dari manusia atau menimpanya kerana kehendaknya sendiri. Misalnya ia berjalan, makan, minum, dan bepergian, bila saja sesuka hatinya dan bila saja boleh ditinggalkannya. Ia membakar dengan api dan memotong dengan pisau, sesuai dengan kehendaknya. Begitu pula ia memuaskan keinginan seksualnya, keinginan memiliki barang, atau keinginan memenuhi perutnya sesuai dengan keinginannya. Ia boleh melakukannya atau tidak melakukannya dengan sukarela. Oleh kerana itu, terhadap semua perbuatan yang dilakukan di daerah ini, manusia akan ditanya dan diminta pertanggungjawaban.



Meskipun khasiat-khasiat yang ada pada benda mati, naluri, serta keperluan jasmani yang telah ditaqdirkan oleh Allah dan dijadikannya bersifat baku, mempunyai efek/pengaruh yang menghasilkan suatu perbuatan, akan tetapi bukan khasiat-khasiat ini yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah yang melakukannya pada saat ia menggunakan khasiat-khasiat itu. Sebagai contoh, dorongan seksual yang ada pada gharizatun-nau', memang mempunyai potensi kebaikan atau keburukan. Begitu pula rasa lapar yang ada pada keperluan jasmani, juga mempunyai potensi kebaikan atau keburukan. Akan tetapi yang melakukan perbuatan baik atau buruk adalah manusianya itu sendiri, bukan naluri (keinginan) atau keperluan jasmaninya. Sebab, Allah SWT telah menciptakan akal bagi manusia. Dan di dalam tabiat akal diciptakan kemampuan memahami serta mempertimbangkan. Oleh kerana itu, Allah telah menunjukkan kepada manusia jalan yang baik dan yang buruk, sebagaimana firman-Nya:




Maka, Allah jadikan di dalam naluri dan keperluan jasmani itu kemampuan untuk menimbang-nimbang, mana perbuatan yang maksiat dan mana perbuatan yang baik (taqwa), sebagaimana firman-Nya:




Jadi, apabila manusia memuaskan dorongan naluri dan keperluan jasmaninya sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya, berarti ia telah melakukan kebaikan dan berjalan pada jalan taqwa. Namun bila manusia memenuhi dorongan naluri dan keperluan jasmaninya seraya berpaling dari perintah Allah dan larangan-Nya, berarti ia telah melakukan perbuatan buruk dan berjalan di atas jalan kemaksiatan. Dalam dua keadaan tadi, manusialah yang menghasilkan perbuatan. Tidak peduli, apakah perbuatan itu baik ataupun buruk, dan tanpa melihat lagi apakah perbuatan itu berasal dari dirinya atau yang menimpanya. Dia sendirilah yang memenuhi keperluannya sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya, sehingga ia termasuk telah berbuat baik. Dia sendiri pula yang memenuhi keperluannya dengan menentang perintah Allah dan larangan-Nya, sehingga ia digolongkan telah berbuat buruk. Atas dasar inilah manusia diminta pertanggungjawabannya terhadap semua perbuatan yang terjadi pada daerah yang ia kuasai. Lalu diberi pahala atau diseksa, tergantung perbuatannya. Sebab, ia melakukannya secara sukarela tanpa ada paksaan sedikitpun.



Walaupun khasiat naluri dan keperluan jasmani itu berasal dari Allah, serta potensinya untuk melakukan perbuatan baik atau buruk yang juga berasal dari Allah, namun Allah tidak menciptakan khasiat-khasiat itu dalam bentuk yang dapat memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan, baik perbuatan itu diredhai Allah atau dimurkai-Nya, dan atau berupa perbuatan jahat ataupun baik. Khasiat membakar yang terdapat pada api, misalnya, tidak diciptakan untuk memaksa manusia melakukan pembakaran --baik yang diredhai Allah atau dibenci-Nya--, melainkan dijadikan Allah agar boleh berfungsi apabila digunakan oleh manusia dalam bentuk yang tepat. Demikian juga, pada saat Allah menciptakan manusia berikut naluri dan keperluan jasmaninya, seraya diciptakan-Nya pula akal yang sanggup membeza-bezakan, maka diberikan-Nya pula kepada manusia kebebasan memilih untuk melakukan perbuatan, atau meninggalkannya tanpa pernah dipaksa. Allah tidak pernah menciptakan khasiat-khasiat benda, naluri, atau keperluan jasmani sebagai sesuatu yang dapat memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Oleh kerana itu, manusia bebas melakukan suatu perbuatan ataupun meninggalkannya dengan menggunakan akalnya --yang memang mampu untuk membeza-bezakan dan telah dijadikan sebagai sandaran (manath) pembebanan kewajiban syariat.



Berdasarkan hal ini, Allah menyediakan pahala bagi perbuatan baik manusia, kerana akalnya telah memilih menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan untuk perbuatan buruk, manusia telah disediakan seksa, oleh kerana akalnya telah memilih untuk melanggar perintah Allah dan larangan-Nya, iaitu saat manusia memenuhi tuntutan naluri serta keperluan jasmaninya bukan dengan cara yang telah diperintahkan Allah. Jadi, balasan terhadap perbuatan semacam ini merupakan balasan yang haq serta adil, kerana manusia bebas memilih tanpa ada paksaan apapun. Dalam masalah ini tidak ada urusannya dengan qadha` dan qadar. Tetapi masalahnya adalah tindakan si hamba sendiri dalam melakukan suatu perbuatan secara sukarela. Oleh kerana itu, manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, sebagaimana firman Allah:




Adapun mengenai Ilmu Allah, sesungguhnya tidaklah ilmu-Nya memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Sebab, Allah telah mengetahui sebelumnya bahawa manusia akan melakukan perbuatannya secara sukarela. Perbuatannya itu tidak didasarkan pada Ilmu Allah, melainkan telah menjadi Ilmu Allah yang azali, bahawasanya manusia akan melakukan perbuatan tersebut.



Mengenai adanya tulisan di dalam Lauhul Mahfudz, tidak lain merupakan perlambang tentang betapa Maha Luasnya Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.



Demikian pula halnya dengan Iradah Allah, yang tidak memaksa manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Sebab, yang dimaksud dengan Iradah Allah adalah "tidak akan terjadi sesuatu apapun di malakut (alam kekuasaan)-Nya kecuali dengan kehendak-Nya". Dengan kata lain, tidak ada sesuatu di alam ciptaan-Nya ini yang terjadi berlawanan dengan kehendak-Nya. Jadi, apabila manusia melakukan suatu perbuatan tanpa dicegah Allah, tanpa dipaksa, dan ia dibiarkan melakukan secara sukarela, maka pada hakikatnya perbuatan manusia tersebut berdasarkan Iradah Allah, bukan berlawanan dengan kehendak-Nya. Perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia secara sukarela berdasarkan pilihannya. Sedangkan Iradah Allah tidak memaksanya untuk berbuat seperti itu.



Demikianlah penjelasan tentang qadha` dan qadar. Masalah inilah yang dapat mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan bila ia sedar bahawa Allah senantiasa mengawasinya serta akan meminta tanggung jawabnya. Juga, manusia akan sedar bahawa Allah SWT telah memberikan kepadanya kebebasan memilih untuk melakukan suatu perbuatan ataupun meninggalkannya. Apabila manusia tidak pandai-pandai menggunakan hak pilihnya itu, tentulah ia akan terperosok ke dalam jahanam dengan mendapatkan seksa yang pedih. Seorang mukmin sejati yang memahami hakikat qadha` dan qadar, hakikat nikmat akal dan nikmat hak pilih yang telah dikaruniakan Allah, akan kita dapati bahawa orang tersebut akan waspada dan takut kepada Allah SWT. Ia akan selalu berusaha melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, kerana takut ditimpa azab Allah serta merindukan jannah-Nya. Bahkan Ia akan menginginkan apa yang lebih besar dari itu, yang tidak lain adalah keredhaan Allah SWT.



[i] Qadar yang dibahas oleh mutakallimin adalah reaksi dari naluri perbuatan manusia, atau sifat yang dimiliki makhluk lain, seperti tumbuhan dan haiwan-pent.).



No comments:

Related Posts with Thumbnails