From Qur'an || From Hadith

From Qur'an Surah Al-An'am (The Cattle) 6:164

Say: "Shall I seek a lord other than Allah, while He is the Lord of all things? No person earns any (sin) except against himself (only), and no bearer of burdens shall bear the burden of another. Then unto your Lord is your return, so He will tell you that wherein you have been differing."

None can bare the burden of another... meaning each of us are responsible for our own actions in this life. we better be sure that we are following the correct understanding of Islam, within the guidelines of the Qur'an and the Sunnah... cause on the day of judgment we will not be able to point fingers at any one else.. not even our sheikhs, imams or maulanas. May Allah (swt) give us the correct understanding of Islam and help us to abide by all aspects of it.

Wednesday 24 December 2008

Hukum Syara'

Hukum Syara' adalah khithab Syari' (seruan Allah sebagai pembuat hukum) yang berkaitan dengan amal perbuatan hamba (manusia), baik itu berupa ketetapan yang sumbernya pasti dan tidak diragukan lagi (qath'i tsubut) seperti Al-Quran dan Hadits mutawatir, maupun berupa ketetapan yang yang sumbernya belum pasti dan masih berupa sangkaan (zhanni tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir. Apabila ketetapannya pasti, maka perlu pengkajian lebih lanjut; yaitu bila penunjukan dalilnya bersifat pasti (qath'iud dilalah), maka hukum yang dikandungnya adalah pasti pula, misalnya jumlah rakaat shalat fardlu yang kesemuanya bersumber dari hadits mutawatir. Begitu juga dengan hukum haramnya riba, potong tangan bagi pencuri, atau hukum jilid bagi pezina. Semua itu merupakan hukum-hukum yang penunjukkannya bersifat pasti dan nilai kebenaran di dalamnya merupakan suatu ketetapan. Tidak ada ketetapan lain yang ditunjukkannya kecuali hanya satu ketetapan pasti.


Akan tetapi apabila seruan Syari' itu ketetapannya bersifat pasti sedangkan penunjukan dalilnya bersifat zhanni, maka hukum yang terkandung di dalamnya adalah zhanni. Misalnya ayat tentang jizyah, uang yang dipungut negara dari orang kafir dzimmi yang menolak masuk Islam, tetapi bersedia hidup dalam masyarakat Islam. Dilihat dari segi ketetapannya bersifat qath'i, tetapi bila ditinjau dari perincian-perincian hukumnya, maka penunjukan dalilnya adalah zhanni. Mazhab Hanafi misalnya mensyaratkan penggunaan istilah (jizyah); dan ketika memberikannya harus tampak jelas kehinaan bagi pembayarnya. Sedangkan mazhab Syafi'i tidak mensyaratkan hal ini, bahkan membenarkan mengambilnya dengan sebutan zakat mudla'afah, zakat berlipat ganda, serta tidak perlu menampakkan kehinaan, melainkan cukup tunduk saja terhadap hukum-hukum Islam.


Adapun seruan Syari' yang ketetapannya bersifat zhanni tsubut seperti hadits yang bukan mutawatir, maka hukum yang terkandung di dalamnya menjadi zhanni pula, baik itu berupa dilalahnya qath'i seperti puasa enam hari pada bulan Syawal yang ditetapkan oleh sunah, maupun yang dilalahnya zhanni seperti larangan menyewakan tanah lahan pertanian yang ditetapkan oleh sunah pula.


Dengan seruan Syari', kita dapat memahami hukum syara' melalui proses ijtihad yang benar. Berdasarkan hal ini, maka ijtihad para mujtahid itulah yang memunculkan hukum syara'. Oleh karena itu, hukum Allah bagi setiap mujtahid adalah apa-apa yang dihasilkan melalui proses ijtihad setelah mentarjihkan dan menduga kuat kebenaran hukum tersebut.


Seorang mukallaf yang telah mencapai derajat ahli ijtihad dengan sempurna dalam masalah tertentu, apabila dia melakukan ijtihad kemudian dengan hasil ijtihadnya itu mendapatkan hukum tentang masalah tersebut, maka di sini terdapat kesepakatan ulama bahwasanya seorang mujtahid tidak diperkenankan bertaklid kepada mujtahid lain yang pendapatnya berlawanan dengan hasil ijtihadnya yang diduga kuat kebenarannya. Dia tidak boleh meninggalkan pemahamannya/ijtihadnya (walaupun berbentuk zhanni) kecuali jika Khalifah telah memilih dan menetapkan salah satu hukum syara'. Dalam hal ini sikap yang diambil oleh mujtahid, adalah harus melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh Khalifah. Sebab, status hukum yang telah dihasilkan oleh mujtahid melalui proses ijtihad yang diduga kuat kebenarannya merupakan hukum Allah baginya dalam masalah tersebut sekaligus ia merupakan hukum syara'. Selain itu, perintah Imam/Khalifah akan dapat mengatasi perselisihan (antara para mujtahiddin). Tetapi apabila seseorang mujtahid yang telah mencapai derajat mujtahid kemudian tidak berijtihad (dalam masalah tertentu), maka boleh saja dia bertaqlid kepada mujtahid-mujtahid lain. Sebab, Ijma' shahabat telah menetapkan bahwa boleh bagi seorang mujtahid untuk meninggalkan ijtihadnya dan bertaqlid kepada mujtahid yang lain.


Adapun orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan berijtihad dinamakan muqallid. Muqallid itu terbagi dua, yaitu muqallid muttabi' dan muqallid 'ammi. Muqallid muttabi' adalah orang yang belum menguasai berbagai cabang ilmu yang diperlukan dalam berijtihad, sehingga harus bertaqlid kepada seorang mujtahid; tetapi setelah ia mengetahui dalilnya. Hukum Allah baginya adalah pendapat mujtahid yang diikutinya. Sedangkan muqallid 'ammi adalah orang yang belum menguasai berbagai cabang ilmu yang diperlukan dalam berijtihad, sehingga harus bertaqlid kepada seorang mujtahid; tetapi ia tidak mempedulikan dalilnya. Berdasakan hal ini, muqallid 'ammi harus mengikuti ucapan atau pendapat para mujtahid serta menerima hukum-hukum yang mereka istinbath-kan. Baginya hukum syara' adalah hukum yang di-istinbath-kan oleh mujtahid yang diikutinya. Berdasarkan hal ini, maka hukum syara' adalah hukum yang di-istinbath-kan oleh seorang mujtahid yang memiliki kemampuan berijtihad. Baginya hukum adalah hukum Allah yang tidak boleh diingkari, dan atau mengikuti pendapat lain secara mutlak. Bagi orang-orang yang bertaqlid kepadanya, maka hukum tersebut telah dianggap sebagai hukum Allah yang tidak boleh diingkarinya.


Seorang muqallid apabila bertaqlid kepada sebagian mujtahid dalam suatu masalah dari berbagai masalah dan bertindak sesuai dengan pendapat mujtahid dalam masalah tersebut, maka tidak dibolehkan meninggalkan mujtahid itu dalam masalah hukum tersebut, tetapi boleh mengikuti mujtahid lain dalam masalah lain secara mutlak. Apabila ia ingin mengikuti mujtahid yang lain dalam masalah lain yang berbeda, maka hal tersebut dibolehkan sebagaimana ketetapan dari Ijma' shahabat. Karena itu, dalam hal ini, seorang muqallid dibolehkan meminta fatwa kepada orang alim dalam masalah tertentu. Adapun jika seorang muqallid menentukan satu mazhab, misalnya mazhab Syafi'i dan berkata "Saya bermazhab kepadanya dan terikat kepadanya", maka dalam hal ini ada keterangan lain. Yaitu, bila setiap persoalan yang diambil dari mazhab yang diikutinya berkaitan dengan apa yang ia lakukan, maka secara mutlak ia tidak diperkenankan bertaqlid kepada selain mazhab yang telah dipilihnya dalam suatu masalah. Lain halnya jika amal perbuatannya itu tidak tergantung kepada masalah yang telah ditentukan oleh satu mazhab yang dianutnya. Dalam masalah ini, maka tidak ada larangan baginya untuk mengikuti selain mazhab yang dipilihnya.


Bagi seorang mujtahid yang dalam ijtihadnya sampai kepada suatu kesimpulan hukum tertentu, maka baginya diperkenankan untuk meninggalkan apa yang telah dicapainya (dalam ijtihadnya) dalam masalah tersebut untuk kemudian bertaqlid kepada yang lain jika ia mempunyai maksud untuk menyatukan kaum muslimin dalam satu pendapat. Inilah yang telah terjadi pada saat pem-bai'at-an Utsman bin Affan.

No comments:

Related Posts with Thumbnails