From Qur'an || From Hadith

From Qur'an Surah Al-An'am (The Cattle) 6:164

Say: "Shall I seek a lord other than Allah, while He is the Lord of all things? No person earns any (sin) except against himself (only), and no bearer of burdens shall bear the burden of another. Then unto your Lord is your return, so He will tell you that wherein you have been differing."

None can bare the burden of another... meaning each of us are responsible for our own actions in this life. we better be sure that we are following the correct understanding of Islam, within the guidelines of the Qur'an and the Sunnah... cause on the day of judgment we will not be able to point fingers at any one else.. not even our sheikhs, imams or maulanas. May Allah (swt) give us the correct understanding of Islam and help us to abide by all aspects of it.

Tuesday 4 November 2008

Mengagungkan Allah SWT.


Dah lame tak bertakbir..hari raya haji t..bertakbir lagik..

Sy baru saje balik dari umh jiran. Ziarah jiran yang menjadi tetamu rumah Allah al-masjidil haram.. Sudah lama kita tidak bertakbir. Since 1 raya pertama hingga masuk 2-3 raya, telinga ini masih mendengar takbir pujian Illahi. Tahniah bagi yg berjaya menyempurna kan fardhu ain dan tak lupa juga pd mereka yg berpuasa Nam.. Syukur nikmat..Selepas itu, kita terus senyap..haih..apa nak jadi nie.. Tak lame lagik kita akan mendengar takbir tersebut pd hari raya adha.

Tujuan sy menulis ini bukan lah nk gtaw jarak waktu kita bertakbir. Tapi sy mahu memfokuskan, apakah kita Cuma bertakbir di dua waktu perayaan yang mulia ini sahaja.

Apakah kita selalu mentakbir pd Allah. Sembahyang2, puasa2, dan sebagainya lah. Lengkap 5 perkara asas sudah memadai. Tak gitu, saudara-saudaraku??

Memang tak dinafikan.. Apabila kita memuji(sebutan) dgn beramai2..lagi2 dirumah Allah yang mulia. Hati ini terus lentur, sayu, hati lunak mendengar khutubah raya. Even text khutbah leh dikatakan perkaranya sama diulang2 tiap2 tahun.(perasan tak).

Saudara-saudara yang 1st tym kita jumpa kat masjid. Kita terasa rapat, ringan je lidah berkata..”Selamat hari raya, maaf zahir dan batin”. Bertapa hebatnya penangan bagi hati yang tunduk pada Allah serta memuji Illahi atas kemenangan menyempurnakan salah satu daripada 5 perkara tersebut.

Dalam al-Quran, Allah SWT menyatakan bahwa orang-orang yang menunaikan puasa di bulan Ramadhan dengansebaik-baiknya akan menjelma menjadi manusia yang bertakwa (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 183).

Orang Mukmin yang bertakwa adalah orang yang tunduk pada semua aturan Allah, melaksanakan semua yang diperintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya, serta mempersiapkan diri menyongsong tibanya Hari Kematian. Ketundukan seorang Mukmin kepada Allah merupakan implementasi dari rasa syukurnya kepada-Nya yang telah memberinya segala yang ia miliki, termasuk memberinya al-Quran sebagai petunjuk, penjelas, dan pembeda antara yang baik dan yang buruk; antara yang haq dan yang batil; antara yang terpuji dan yang tercela; serta antara jalan kebahagiaan dan jalan kecelakaan. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).

Allah SWT juga berfirman:

Hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.

(TQS al-Baqarah [2]: 185).

Melalui ayat ini Allah mengajarkan kepada kita bahwa setelah selesai menjalankan ibadah puasa, kita harus takbir atau mengagungkan Allah dan bersyukur kepada-Nya. Takbir artinya mengagungkan Allah dan mengecilkan apa saja selain Allah, sementara tasyakur artinya menggunakan seluruh anugerah Allah sesuai dengan kehendak-Nya.

Dalam ibadah shaum(puasa), takbir kita cerminkan dengan mengecilkan pengaruh hawa nafsu dan menghidupkan kebesaran Allah dalam hati kita. Ketika kita membaca al-Quran, kita mengecilkan seluruh pembicaraan manusia dan hanya membesarkan Kalamullah. Ketika kita berdiri shalat malam di bulan Ramadhan, kita mengecilkan seluruh urusan dunia ini dan hanya mengagungkan perintah Allah. Seluruh ibadah kita adalah dalam rangka mengagungkan Allah dan mengecilkan selain-Nya.

Setelah menyelesaikan seluruh ibadah ini, Allah masih juga memerintahkan kita untuk bertakbir. Bukankah dalam puasa kita sudah mengagungkan Allah? Bukankah dalam tarawih dan tadarus kita juga sudah mengagungkan Allah? Mengapa kita masih harus bertakbir lagi? Sama ada kita sedar or tak sedar. Ada perkara yang belum terlaksana. Yang sengaja kita ketepikan. Bagi jiwa yang mantul, mereka merasakan itu bukan tanggungjawab mereka ..itu tanggungjawab orang ilmuan agama, ustaz2, usztazah.

Adakah ’golongan’ itu sahaja perlu menjelaskan dan melaksanakan hukum Allah?? Allah tak menetapkan golongan2 ini diberi tanggungjawab untuk melaksanakan hukum Allah. Cuma orang kafir je yang gelarkan golongan ini. Sedar tak kita. Bila nak tegur orang, orang yang ditegur sound kita; ”Kau siapa nak sound2.”..”ahlamak, sejak bila kau jadi ustaz/uztazah nie”..lagi menyedihkan bila orang yang menegur; ”Sy nie bukan lah ustaz. Tp ada perkara yg perlu sy tegur ... ”.”Sy nie penoreh getah... blah2..” Kita perhatikan, zaman sahabat. Mereka menempa besi,pedang pakaian dan lelain lagik. Status-status ini tiada dalam dakwah mereka. Zaman2 kegemilangan Islam serperti Ibnu Sina dan len nye.. Janganlah kerna takde status Imam, Ustaz, Ustazah, kita rase segan nk berdakwah. Jangan rase kita tak de sijil, diploma, ijazah, master, phd, lulusan al-azhar itu dan ini kita rasa kita tak boleh berdiri ditengah-tengah umat. Abu Bakar as-Siddiq bagaimana plak?? Umar al-Khattab yg dulu kafir bagaimana?Uthman Affan yg hartawan bagaimana?? Ali Abi Talib KWJ yg miskin bagaimana?Dan yang terpenting Nabi SAW bagaimana?? Mereka2 ini tak de pun lulusan pun. Mereka ini guna Al-Quran, wahyu Allah!! Sijil, Diploma, Ijazah, Master, PhD sape yang iktiraf?? Manusia bukan??

Allah tahu, kita sering bertakbir dalam ibadah-ibadah kita, tetapi sering bersikap takabur di luar itu. Kita mengagungkan Allah di masjid, tetapi di luar masjid kita mengagungkan yang lain. Kita mengagungkan kekayaan, kekuasaan, dan kedudukkan; kita juga membesarkan hawa nafsu, kepentingan, dan pikiran kita. Di atas tikar sembahyang, di masjid, di surau, di tempat2 ibadah kita menggemakan takbir. Sebaliknya, di pejabat, di pasar, di ladang, di tengah-tengah masyarakat kita menggemakan sikap takabur. Yang lagik jijik ”Yes Bos!!” takut periuk nasi tertutup. Mereka(yg bercakap, ”Yes Boss”) lebih berkeyakinan orang atasan lah yang menjaga rezeki mereka.

Di pejabat, misalnya, jabatan yang seharusnya kita gunakan untuk melayani rakyat, membela yang lemah, dan menyantuni yang memerlukan pertolongan kita manfaatkan untuk memperkaya diri walaupun mengorbankan rakyat kebanyakan.(bahse kelasik keluar..ehehe)..Maksud sy..orang miskin..

Kita juga takabur ketika kita melakukan tindakan apa pun tanpa memperdulikan halal dan haram. Allah yang kita agungkan dalam shalat dan doa kita, kita kecilkan dalam hidup kita. Dalam puasa kita menahan diri untuk tidak memakan makanan dan minuman yang halal, tetapi kita berbuka dengan makanan dan minuman yang haram. Bibir kita kering karena kehausan, perut kita kempis karena kelaparan, tetapi tangan-tangan kita kotor karena kemaksiatan. Di masjid kita khusyuk melakukan shalat, tetapi di luar masjid kita sering asyik melakukan maksiat. Di masjid kita fasih melafalkan al-Quran, sementara di luar masjid kita lebih fasih lagi memperdayai al-Quran.

Satu-satunya jalan yang telah diberikan Allah kepada kita semua untuk senantiasa bisa menggemakan takbir dalam seluruh kehidupan kita adalah melalui pengamalan al-Quran. Sayang, petunjuk itu banyak diabaikan begitu saja oleh umat Islam. Soal ini, jauh hari sudah dikeluhkan oleh Nabi saw:

Berkatalah Rasul, “Ya, Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini suatu yang tidak diacuhkan.”

(TQS al Furqan [25]: 30).

Mufasir ternama, Imam Ibn Katsir, dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, menyatakan bahwa siapa saja yang dibacakan kepadanya al-Quran, tetapi tidak mau mendengarkan dan membenarkan apa yang dikandungnya berarti ia telah tidak mengacuhkan al-Quran. Begitu pula orang yang tidak mau mengambil hukum dari al-Quran, dan sebaliknya malah berhukum pada hukum thâghût baik yang diambil dari paham sekular Barat maupun dari tradisi atau kebiasaan nenek moyang. Padahal, secara i’tiqadî, siapa pun yang berpaling dari peringatan Allah dalam al-Quran dan as-Sunnah niscaya akan ditimpa kesengsaraan hidup.

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (TQS Thaha [20]: 124).

Masyallah!! Perlu lagi kah aku dan kita semua menafikan kalamullah?? Tetiba teringat akan seorang kawan. Seorang kenalan aku memberi tahu aku. ”Wan, aku nak belajar ngaji lah. Nak belajar tajwidnya sekali. Aku tak malu nk belajar dgn budak yg lebih muda dari aku. Asalkan aku dapat pelajarinya dengan baik”

Sejak awal, Allah telah memerintahkan kita untuk hanya mengikuti jalan-Nya, yaitu Dinul Islam, dan melarang kita untuk mengikuti jalan hidup lainnya. Dengan mengikuti jalan Islam, kita akan bersatu dan mendapatkan rahmat. Sebaliknya, dengan meninggalkan Islam kita pasti akan tercerai-berai dan hidup dengan penuh penderitaan.

Ini adalah jalan-Ku yang lurus. Karena itu, ikutilah jalan itu, dan janganlah mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu akan menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.

(TQS al-An‘am [6]: 153).

Kerana tercerai-berai, umat Islam menjadi semakin lemah, terjajah, tidak mandiri dan senantiasa hidup dalam tekanan kekuatan asing yang memang ingin terus menerus menguasai negeri-negeri Islam. Dalam hal ini, Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Tsauban, bersabda:

Kelak, bangsa-bangsa lain akan memperebutkan kalian, sebagaimana (mereka) memperebutkan makanan untuk meremukannya.

(HR Abu Dawud).

Kekuatan-kekuatan asing itu kini tampak tengah mencengkeramkan kakinya di hampir seluruh negeri-negeri Muslim, termasuk Malaysia. Dunia Islam adalah bagian dunia yang sangat kaya akan sumberdaya alam dan strategis dari sudut geopolitik.

Aku pernah terbaca satu blog. Tak sure blogspot.or friendster. Dia tergelak bila melihat anak buahnya pandai menyanyi. Hiburan maksiat menjadu sajian media2 electronic..Dan sebagainya. Perlu dulu, aku diberikan soklan cepu mas. Orang tuh soal aku;

A: ”agak-agak ko. Tentera kafir nak serang malaysia bila??”

B: ”ntah lah. Aku tak tahu lah.Tunggu konflict politik kut”

A; ”Ini kalau aku gtaw amerika suh serang malaysia. Pasti dorng duk gelak kn aku. Pastu habuan langsung tak dak”

B: ”Maksud ko?”

A: ”Maksud aku. Nak serang, biar tym subuh. Sume pemuda duk hanyut dibuai mimpi indah,yang tataw bila leh jd kenyataan. Orang-orang yg berselimut lagik”

A: ”Tak dan nye, kalau amerika wat due date nk serang kita. Kita akan bersedia. Budak-budak semua lembik!! Ingat badan besar mcam bonzer bleh tewaskn sorang tentera.Lembik r sume bg yg berselimut dan meneruskan mimpi2 indah”

Para penguasa di negeri-negeri Muslim diam seribu bahasa, dan kita, umat Islam, hanya dapat mengelus dada. Umat Islam yang jumlahnya lebih dari 1,2 milion(tul ke jumlahnye??) bagaikan buih; banyak tetapi tak berdaya. Umat Islam juga bagaikan makanan yang dikerubuti dari berbagai penjuru oleh orang-orang lapar. Itulah kenyataan getir di hadapan kita.

Allah. Allah SWT berfirman:

Padahal al-‘izzah (kekuatan, kebesaran, kehormatan, dan kemuliaan) itu hanyalah milik Allah, Rasul, dan kaum Mukmin. Namun, orang-orang munafik itu tiada mengetahuinya. (TQS al-Munafiqun [63]: 8).

Kembalilah memuliakan Allah. Kita diberi peluang. Haruskah kita perlu membiarkan peluang itu pergi?? Meskipun peluang itu kita ambil, nikmatnya tidak drasai oleh kita kerana terkorban atau dikorbankan. Takpe..nie sume utk menyelamat generasi2 muda.

Selain itu, kita juga harus bertasyakur kepada Allah. Tasyakur yang benar adalah ketika kita menggunakan nikmat hidup kita untuk mengagungkan asma Allah, menjunjung tinggi syariat-Nya, dan menyayangi hamba-hamba-Nya.

Terakhir, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut:

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut mereka, sedangkan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama/ideologi walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.

(TQS at-Taubah [9]: 32-33).

Segala teguran diterima. Ada kesalahan/songsangan sila betulkan. Ada pandangan sila jamukan. Sila2..hehehe

11 comments:

Panglima Kungfu said...

Selain itu, ada beberapa hal penting yang juga harus kita dilakukan, antara lain:
1. Terus-menerus menumbuhkan kesadaran bahwa Islam adalah jalan hidup yang akan mengeluarkan seluruh manusia dari kegelapan dan segenap kerusakan hidup kepada cahaya serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
2. Terus-menerus menumbukan kesadaran bahwa musuh-musuh Islam selalu melakukan tipudaya untuk menghancurkan keagungan Islam dan memperdaya umatnya.
3. Menyatukan barisan kaum Muslim agar tidak mudah terprovokasi dan terpecah-belah oleh musuh serta terus menyuarakan penerapan syariat Islam melalui jalan damai. Diyakini hanya syariat Islam sajalah yang mampu mewujudkan kesejahteraan bagi semua umat manusia.
4. Menyatukan negeri-negeri Muslim dalam kesatuan Daulah Khilafah Islamiyah serta menyampaikan hidayah lewat dakwah dan jihad ke seluruh dunia.

Anonymous said...

Hizbut Tahrir didirikan oleh Taqiyuddin An Nabhani. Gerakan ini berpusat di Yordania, Syiria, dan Libanon. Menyebarkan virusnya ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Dalam bukunya “Mengenal HT, 2001” disebutkan bahwa Hizbut Tahrir adalah parpol yang berideologi Islam, Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik, bukan organisasi kerohanian, bukan lembaga ilmiyah, bukan lembaga pendidikan, dan bukan lembaga sosial.

Membahas tentang Hizbut Tahrir haruslah mengetahui tentang firqah Mu’tazilah. Hal ini penting karena golongan ini tidak segan-segan melakukan penipuan besar-besaran dengan mengatakan bahwa manhaj yang mereka tempuh adalah manhaj jumhur Ahlul Ilmi. Padahal kenyataannya, pernyataan para imam justru sebaliknya (akan datang penjelasannya). Mu’tazilah menyatakan bahwa hadits ahad tidak bisa memberikan faedah apa-apa melainkan dzan (prasangka) belaka. Padahal untuk menetapkannya sebagai akidah mestilah memerlukan dalil yang Qath’i (pasti). Jadi dasar pijakan Hizbut Tahrir sebenarnya bersumber dari dasar pijakan kaum Mu’tazilah yang telah menyimpang dari pemahaman Salafus Shalih. Maka janganlah tertipu dengan pengakuan mereka yang dusta. Mu’tazilah-lah nenek moyang dan pendahulu mereka!

Akidah Hizbut Tahrir

A. Kesesatan Akidah Hizbut Tahrir

Membahas Hizbut Tahrir haruslah mengetahui tentang Mu’tazilah. Hal ini penting karena firqah ini tidaklah segan-segan untuk berdusta dan berlaku keji dengan menisbatkan diri bahwa manhaj yang mereka tempuh adalah manhaj jumhur Ahlul Ilmi sebagaimana perkataannya : “Jumhur kaum Muslimin baik dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhadditsin, fuqaha, serta ulama ushul sepakat bahwa hadits ahad hanya menghasilkan dzan (dugaan) saja, tidak menghasilkan keyakinan.” (Syamsudin Ramadlan, Absahkah? Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah Dan Siksa Kubur, halaman …, 2001)

Padahal kenyataannya, pernyataan para imam justru sebaliknya (akan datang penjelasannya). Azas yang paling menonjol dari Mu’tazilah yaitu dalam memahami dan melaksanakan Islam, mereka menjadikan akal sebagai hakim/tolok ukur kebenaran. Kedua (akibat dari prinsip pertama tersebut) adalah menolak hadits ahad dalam masalah akidah. Hadits ahad (menurut akal filsafat Mu’tazilah) tidak bisa memberikan faedah apa-apa kecuali dzan (dugaan) belaka. Sementara HT menyatakan bahwa : “Hadits ahad tidak bisa memberikan faedah ilmu dan yakin, hal ini telah disepakati oleh orang-orang yang berakal.” (Syamsudin Ramadlan, Absahkah? Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah Dan Siksa Kubur, halaman …, 2001)

Sedangkan iman yang dibangun di atas dzan adalah kekufuran (naudzubillah)!! berikut ucapan Abdurrahman Al Baghdadi (gembong HT di Bogor) : “Sesungguhnya mengambil khabar ahad dalam masalah akidah sama artinya telah mengambil dzan dan telah memperturutkan hawa nafsu. Tentunya, hal semacam ini adalah perbuatan haram. Mengambil khabar ahad dalam masalah akidah sama artinya dengan membangun akidah di atas dzan. Iman yang dibangun di atas dzan tentu di dalamnya akan dipenuhi oleh keraguan dan kontradiksi. Padahal ini adalah sebuah kekufuran … .”

“Akhir kata, kegigihan untuk tetap mengambil khabar ahad dalam masalah akidah, serta terus komitmen pada pendapat tersebut merupakan sikap kepala batu.” (Syamsudin Ramadlan, Absahkah? Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah Dan Siksa Kubur, halaman …, 2001)

Ucapan Abdurrahman yang keji di atas mengandung takfir (pengkafiran) terhadap Salafus Shalih dan kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal Jamaah. Lihat betapa jahatnya penentangan dan permusuhan Hizbut Tahrir terhadap manhaj Salafus Shalih yang menyatakan wajibnya mengimani dan membenarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang rawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Jadi dasar pijakan firqah Hizbut Tahrir sebenarnya bersumber dari dasar pijakan kaum Mu’tazilah yang telah menyimpang dari pemahaman Salafus Shalih. Maka janganlah tertipu dengan pengakuan-pengakuan mereka yang dusta. Mu’tazilah-lah nenek moyang dan pendahulu mereka!

Para ulama Ahlus Sunnah baik yang dahulu maupun pada masa sekarang telah banyak menulis kitab yang memperingatkan kesesatan pemahaman Mu’tazilah dengan dalil-dalil dan keterangan-keterangan tentang wajibnya berpegang dengan hadits ahad (yang shahih) baik dalam masalah hukum maupun akidah. Salah satu dalil yang dibawakan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad shahih oleh Anas bin Malik radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika mengutus Muadz radhiallahu 'anhu ke negeri Yaman, beliau bersabda kepadanya :

“Jadikanlah yang pertama engkau dakwahkan kepada mereka adalah syahadat Laa Ilaaha Illallah (tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah).”

Siapakah Muslim yang ragu bahwa syahadat ini merupakan azas/pokok Islam yang pertama kali? Artinya sebagai akidah pertama yang diatasnya dibangun keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya? Sesungguhnya Muadz telah pergi sendirian saja sebagai penyampai dan juru dakwah yang menyeru kaum musyrikin agar mereka beriman kepada Dienul Islam.

Maka datanglah kaum filsafat ini dengan bukunya yang penuh kedustaan dan pengkafiran terhadap Ahlus Sunnah yang berjudul Absahkah? Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah Dan Siksa Kubur§) untuk membantah Syaikh Albani (menurut dzan mereka). Mereka datang dengan membawa kilahnya orang yang sedang kebingungan dengan perkataannya : “Hal-hal di atas sama sekali tidak menunjukkan bolehnya mengambil khabar ahad untuk membangun pokok akidah, akan tetapi hanya menunjukkan bolehnya menerima Tabligh Islam (baik tabligh dalam masalah hukum maupun akidah) dengan khabar ahad. Penerimaan terhadap Tabligh Islam tidaklah berarti menerima khabar ahad untuk menetapkan akidah. Tabligh (penyampaian) berbeda dengan Itsbat (penetapan). Seseorang boleh menolak Tabligh Khabar seseorang, buktinya Umar bin Khattab menolak khabar yang disampaikan oleh Hafshah tentang Al Qur’an(?). Umar menolak tabligh, sebab dari sisi itsbat berita riwayat itu tidak disandarkan pada bukti yang qath’i … . Al Qur’an dari sisi itsbatnya adalah khabar mutawatir … . Meskipun Al Qur’an didakwahkan seorang diri kepada penduduk Jepang, tidak otomatis bahwa Al Qur’an menjadi riwayat ahad.” (Absahkah? Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Aqidah Dan Siksa Kubur, Syamsudin Ramadlan, halaman 49-50, 2001)

Maka benarlah apa yang dikatakan Syaikh Albani : “Mengapa mereka jadi begini? Sesungguhnya mereka telah datang dengan membawa filsafat, kemudian mereka terperangkap secara sambung-menyambung ke dalam banyak filsafat. Akhirnya dengan filsafat tersebut mereka keluar dari jalan lurus yang pernah ditempuh para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Ucapan mereka yang bingung itu tidaklah menggugurkan kenyataan bahwa Muadz radhiallahu 'anhu adalah da’i Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di negeri Yaman. Akidah Islamiyah diajarkan dengan khabar ahad Muadz radhiallahu 'anhu, sebagaimana Muadz radhiallahu 'anhu (dan para shahabat lainnya) menerima khabar tersebut dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

B. Bantahan Ilmiyah Terhadap Kesesatan Akidah Hizbut Tahrir

Kami nukilkan di sini bantahan Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil (Asyaratus Sa’ah) dan Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly (Kasyfu Mauqifi Al Ghazaly) terhadap tulisan Muhammad Al Ghazaly (As Sunnah An Nabawiyah Baina Ahlil Fiqih wa Ahlil Hadits) yang diterjemahkan oleh penerbit Syiah yaitu Mizan Bandung, dengan judul “Studi Kritis Atas Hadits Nabi”. Tulisan ini relevan karena antara Al Ghazaly (tokoh Ikhwanul Muslimin) dengan Hizbut Tahrir sama-sama memiliki keyakinan terhadap penolakan khabar ahad dalam masalah akidah.

Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah

Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al Wabil, MA*

Pembahasan ini ada kaitannya dengan tanda-tanda hari kiamat. Hal ini karena tanda-tanda itu banyak diterangkan dalam hadits ahad[1]. Dan sebagian ulama dari kalangan ulama theologia[2]. Demikian pula dengan sebagian ulama ushul[3], yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak dapat dijadikan pedoman dalam akidah tetapi harus berdasarkan dalil yang qath’i yaitu ayat atau hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Pendapat ini ditolak, karena hadits yang perawinya terpecaya dan sampai kepada kita dengan sanad shahih, maka wajib diimani dan dibenarkan, baik itu berupa hadits ahad maupun mutawatir. Inilah madzhab para ulama Salafus Shalih berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Dan tidak patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab : 36)

Dan firman-Nya :

“Taatilah Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Ali Imran : 32)

Ibnu Hajar berkata : “Sungguh sudah terkenal perbuatan shahabat dan tabi’in dengan dasar hadits ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits ahad[4].”

Ibnu Abil ‘Izzi berkata : “Hadits ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini[5].”

Ada orang bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah, dia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan demikian dan demikian.” Lalu orang itu bertanya kepada Imam Syafi’i rahimahullah : “Bagaimana menurutmu?” Maka Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Maha Suci Allah! Apakah kamu melihat saya dalam bai’at, kamu melihat saya diikat? Saya berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menetapkan, dan kamu bertanya, ‘bagaimana pendapatmu?’ ”[6]

Kemudian Imam Syafi’i rahimahullah menjawab : “Apabila saya meriwayatkan hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu saya tidak mengambilnya, maka saya akan meminta kamu agar menjadi saksi bahwa akal saya telah hilang[7].” Imam Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad atau mutawatir, hadits tentang akidah atau amaliyah. Namun yang dibicarakannya hanya berkisar tentang shahih atau tidaknya suatu hadits.

Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Semua yang datang dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan sanad baik, maka kita tetapkan dan bila tidak tetap (tidak sah) dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan kita tidak menerimanya maka kita kembalikan urusan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr : 7)

Dengan demikian Imam Syafi’i rahimahullah tidak mensyaratkan kecuali keshahihan hadits[8]. Ibnu Taimiyah berkata : “Hadits, apabila sudah shahih semua umat Islam sepakat wajib untuk mengikutinya[9].”

Dan Ibnu Qayyim berkata saat menolak orang yang mengingkari hujjah hadits ahad : “Termasuk hal ini ialah pemberitahuan sebagian shahabat kepada sebagian yang lain, karena berpegang teguh pada apa yang diberitakan oleh salah seorang dari mereka dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata kepada seorang yang menyampaikan berita dari Rasululullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beritamu adalah berita perorangan (khabar ahad) yang tidak memberi faedah ilmu sehingga mutawatir.

Dan jika salah satu di antara mereka meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada orang lain tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala maka mereka menerimanya. Dan sifat itu diyakini dengan pasti, sebagaimana meyakini melihat Rabb, firman-Nya, dan panggilan-Nya kepada hamba-Nya pada hari kiamat dengan suara yang dapat didengar dari tempat yang jauh, serta turun-Nya ke langit dunia setiap malam dan menguasai langit serta Maha Kekal. Barangsiapa mendengar hadits ini dari orang yang menceritakannya dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atau shahabat, maka dia harus yakin atas ketetapan maksud dari hadits seorang yang adil dan benar. Dan hadits itu tidak diterbitkan, sehingga mereka menetapkan sebagaimana hadits hukum … . Mereka tidak menuntut kejelasan dalam meriwayatkan hadits tentang sifat secara pasti, tetapi mereka langsung menerima, membenarkan, dan menetapkan maksud dari hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Adapun yang menolak hadits ahad itu ialah pendapatnya Mu’tazilah, Jahmiyah, Rafidlah, dan Khawarij yang telah merusak kehormatan. Para Imam telah menjelaskan perbedaan pandangan mereka dari pendapat yang mengatakan bahwasanya hadits ahad memberikan faedah ilmu. Demikian pendapat Imam Malik rahimahullah, Imam Syafi’i rahimahullah, dan murid-murid Abu Hanifah rahimahumullah, Dawud bin Ali dan muridnya seperti Muhammad bin Hazm rahimahumullah[10].

Adapun yang mengingkari hujjah hadits ahad karena kesamaran[11] bahwa hadits ahad mengandung dzan dan mereka maksudkan dengan dzan adalah dugaan yang lebih kuat, karena kemungkinan terjadinya kesalahan seseorang atau kelalaiannya, dan persangkaan yang lebih kuat hanya dapat diamalkan dalam masalah hukum dan tidak boleh mengambilnya dalam masalah akidah.

Alasannya dengan sebagian ayat yang melarang mengikuti persangkaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An Najm : 28)

Untuk menjawab penyimpangan ini perlu dijelaskan bahwa hujjah mereka dengan ayat ini tidak dapat diterima. Karena dzan (persangkaan) di sini bukan persangkaan yang bisa kita lakukan. Akan tetapi (persangkaan) yang berupa keraguan, dusta, dan kira-kira. Dalam kitab An Nihayah, Al Lisan, dan lainnya dari kitab kamus bahasa, dzan adalah keraguan[12].

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ((Wa maa lahum bihi min ‘ilm)) maksudnya mereka tidak mempunyai pengetahuan yang benar yang membenarkan ucapan mereka, bahkan hal itu merupakan dusta dan mengada-ada serta kufur yang sangat keji. Dan mengenai ayat ((wa inna adz dzanna laa yughnii mina al haqqi syai’an)) maksudnya tidak dapat menempati (menggantikan) kebenaran. Dalam hadits shahih Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Hati-hatilah terhadap persangkaan (yang buruk) karena persangkaan buruk itu sedusta-dusta pembicaraan[13].”

Keraguan dan dusta adalah perbuatan yang dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, hal itu dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al An’am : 116)

Allah Subhanahu wa Ta'ala mensifati mereka dengan persangkaan yang merupakan sikap yang mengada-ada dan dusta. Dan jika kebohongan dan dusta itu yang menjadi dzan, maka dalam masalah hukum tidak boleh dipakai[14]. Karena hukum tidak didirikan atas keraguan dan mengada-ada.

Adapun kelalaian seorang rawi, maka hadits ahad yang diriwayatkannya harus ditolak, sebab rawi harus terpecaya dan tsabit, maka hadits yang shahih itu tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang berlaku, bahwa rawi terpecaya yang tidak lupa dan tidak dusta tidak boleh ditolak haditsnya.

Dalil-Dalil Kehujjahan Hadits Ahad

Dan bila sudah jelas kepalsuan argumentasi yang menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah, maka dalil yang mewajibkan menerimanya banyak sekali, baik dari Al Qur’an maupun hadits, yaitu :

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah : 122)

Ayat ini memerintahkan umat untuk belajar agama. Dan kata “golongan” (thaifah) tersebut dapat digunakan untuk seorang atau beberapa orang.

Imam Bukhari berkata : “Satu orang manusia dapat dikatakan golongan.” Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al Hujurat : 9)

Maka jika ada dua orang berperang, orang tersebut masuk dalam arti ayat di atas[15]. Jika perkataan seseorang yang berkaitan dengan masalah agama dan dapat diterima, maka ini sebagai dalil bahwa berita yang disampaikannya itu dapat dijadikan hujjah. Dan belajar agama itu meliputi akidah dan hukum, bahkan belajar akidah itu lebih penting daripada belajar hukum[16].

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al Hujurat : 6)

Dalam sebagian qira’ah, ((Fatasyabbatu : Berhati-hatilah))[17]. Ini menunjukkan atas kepastian dalam menerima hadits seorang yang terpecaya. Dan itu tidak membutuhkan kehati-hatian karena dia tidak terlibat kefasikan-kefasikan meskipun yang diceritakan itu tidak memberikan pengetahuan yang perlu untuk diteliti sehingga mencapai derajat ilmu[18].

3. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya).” (QS. An Nisa’ : 59)

Ibnul Qayyim berkata : “Ummat Islam sepakat bahwa mengembalikan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah ketika beliau masih hidup, dan kembali kepada sunnahnya setelah beliau wafat. Mereka pun telah sepakat pula bahwa kewajiban mengembalikan hal ini tidak akan pernah gugur dengan sebab meninggalnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila hadits mutawatir dan ahad itu tidak memberikan ilmu dan kepastian (yakin), maka mengembalikan kepadanya itu tidak perlu[19].”

Adapun dalil-dalil dari hadits itu banyak sekali, antara lain :

a) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus delegasi dengan hanya satu orang utusan kepada para Raja satu persatu. Begitu juga para penguasa negara. Manusia kembali kepada mereka dalam segala hal, baik hukum maupun keyakinan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengutus Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah radhiallahu 'anhu ke negara Najran[20], Muadz bin Jabbal radhiallahu 'anhu ke negara Yaman[21]. Dihyah Al Kalbi radhiallahu 'anhu dengan membawa surat kepada pembesar Bashrah[22] dan lain-lain.

b) Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ketika manusia ada di Quba’ menjalankan shalat Shubuh ada orang yang datang kepada mereka, dia berkata sesungguhnya telah diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Al Qur’an pada waktu malam, dan beliau diperintah untuk mengahadap Ka’bah, maka mereka menghadap Ka’bah dan wajah mereka sebelumnya menghadap Syam, kemudian beralih ke Ka’bah[23].” Dan tidak dikatakan bahwa ini hukum amali karena perbuatan hukum ini berdasarkan atas keyakinan keshahihan hadits.

c) Dan dari Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ada seorang shahabat Anshar, apabila dia tidak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, saya mendatanginya dengan menyampaikan khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, bila saya tidak hadir, maka orang tersebut datang kepadaku membawa khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.[24]”

Maka inilah peristiwa yang dilakukan shahabat, yang memperlihatkan kepada kita bahwa satu orang dari kalangan shahabat sudah cukup untuk menerima hadits yang disampaikan oleh satu orang dalam urusan agamanya, baik yang berkaitan dengan keyakinan maupun perbuatan.

d) Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar hadits dari kami, yang dia hafalkan kemudian disampaikannya. Banyak orang yang menyampaikan itu lebih memadai daripada orang yang mendengar.[25]”

Dan ini tidak terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah, tetapi bersifat umum, meliputi hadits amaliyah, hukum, dan i’tiqad. Apabila masalah-masalah akidah yang ditetapkan dengan hadits-hadits ahad itu tidak wajib diimani, tentu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam masalah ini tidak menyampaikan haditsnya secara mutlak, tetapi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menerangkan masalah itu terbatas pada hadits yang berkaitan dengan amaliyah saja tidak lainnya.

Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dasar dalam hal akidah, itu merupakan pendapat bid’ah dan mengada-ada yang tidak ada dasarnya dalam agama. Dan ulama Salafus Shalih tidak pernah ada yang mengatakan demikian, bahkan hal itu tidak pernah terlintas pada mereka. Andaikata kata dalil Qath’iy yang menunjukkan bahwa hadits ahad itu tidak layak untuk masalah akidah, niscaya sudah dimengerti dan sudah dijelaskan shahabat dan ulama Salaf. Kemudian pendapat bid’ah tersebut berarti menolak beratus-ratus hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Maka orang yang tidak mengambil hadits ahad dalam masalah akidah, niscaya mereka menolak beberapa hadits ahad tentang akidah lainnya, seperti tentang :

1. Keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melebihi semua Nabi ‘Alaihimus Salam.

2. Syafaatnya yang besar di akhirat.

3. Syafaatnya terhadap umatnya yang melakukan dosa besar.

4. Semua Mu’jizat selain Al Qur’an.

5. Proses permulaan makhluk, sifat Malaikat dan Jin, sifat Neraka dan Surga yang tidak diterangkan dalam Al Qur’an.

6. Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur.

7. Himpitan kubur terhadap mayit.

8. Jembatan, telaga, dan timbangan amal.

9. Keimanan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan kepada semua manusia akan keselamatannya, sengsaranya, rizkinya, dan matinya ketika masih dalam kandungan ibunya.

10. Keistimewaan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dikumpulkan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al Khasha’is Al Kubra, seperti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam masuk ke Surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta hal-hal yang disediakan untuk orang yang bertakwa.

11. Berita kepastian bahwa sepuluh shahabat dijamin masuk Surga.

12. Bagi orang yang melakukan dosa besar tidak kekal selama-lamanya dalam neraka.

13. Percaya kepada hadits shahih tentang sifat Hari Kiamat dan Padang Mahsyar yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an.

14. Percaya terhadap semua tanda kiamat, seperti keluarnya Imam Mahdi, keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘Alaihis Salam, keluarnya api, munculnya matahari dari barat, dan binatang-binatang, dan lain-lain. Kemudian semua dalil akidah, menurut mereka tidak sah dengan hadits ahad. Dalil-dalil akidah itu bukan dengan hadits ahad, tetapi dalilnya harus dengan hadits mutawatir. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu orang yang mengingkari kehujjahan hadits ahad itu maka mereka menolak semua akidah yang berdasarkan hadits shahih[26].

Tambahan

Disebutkan dalam kitab Maqaayiisu Naqdu Mutuuni As Sunnah : “Wajib bagi siapa saja yang mendengar khabar ahad yang sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam untuk mengikuti, mengamalkan, dan tidak boleh menyelisihinya, walaupun manusia itu tidak mesti kebenarannya dan tidak terlepas dari keraguan dan kesalahan.”

Makna hadits ahad itu bisa mendatangkan ilmu dengan mengikutinya atau sebagaimana yang diibaratkan oleh para ulama ahli fiqih : (Mengamalkan) Zhanni Al Ghalib (dugaan terkuat/paling umum) itulah yang dimaksud. Karena hukum-hukum syariat itu pasti mempunyai tujuan-tujuan. Termasuk kewajiban dan perintahnya adalah Ittiba’ (mengikuti). Maka bila hal itu (mengamalkan hadits ahad, pent.) telah dilakukan berarti kita telah menunaikan apa yang diinginkan (oleh syariat, pent.).

Meskipun para ulama ahli fiqih menyatakan bahwa (hadits ahad) tidak mendatangkan ilmu yang yakin (sebagaimana hadits mutawatir), akan tetapi mereka sepakat tentang wajibnya mengamalkan hadits ahad tersebut. (Maqaayiisu Naqdi Mutuuni As Sunnah, karya DR. Musyfir Gharamullah Ad Dumainiy, halaman 277).


--------------------------------------------------------------------------------

§ Berapa banyak pemuda yang tertipu dengan buku itu.

* (Asyratus Sa’ah/Tanda-Tanda Hari Kiamat).

[1] Hadits dari segi datangnya kepada kita ada dua. Yaitu Mutawatir dan Ahad. Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh segolongan ulama banyak yang tidak mungkin mereka berdusta mulai dari awal sanad sampai akhir. Ahad yaitu hadits selain Mutawatir. Lihat Taqrib An Nawawy. Tadrib Al Rawi 2/176, Qawaid At Tahdits halaman 146 karya Qasimi, dan Tafsir Musthalah Al Hadits halaman 18-21, Dr. Mahmud Tahhan.

[2] Contohnya ulama Mu’tazilah dan ulama Mutaakhirin, seperti Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Syalabi, Abdul Karim Utsman, dan lain-lain. Lihat Al Farq Bainal Firaq halaman 180, editor Muhyidin Abdul Hamid, Fathul Bari 13/233, Qadhi Al Qudhah, Abdul Jabbar Al Hamdani, halaman 88/90 Dr. Abdul Karim Utsman, Risalah Tauhid halaman 202 M. Abduh editor M. Rasyid Ridha. Lihat sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah Nabi halaman 92-93 oleh Abi Lubabah Husein, Kitab Masihiyah, Perbandingan Agama halaman 44 oleh Dr. Ahmad Syalabi, lihat Fatawa, Mahmud Syaltut halaman 62 yang berkata : “Para ulama sepakat bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah terhadap akidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah ghaib”. Dan lihat kitabnya “Islam Akidah dan Syariat” halaman 53. Lihat “Al Masih dalam Al Qur’an, Taurat, dan Injil” 539 karya Abdul Karim Khatib.

[3] Lihat Syarah Al Kaukab Al Munir Fi Ushul Fiqh 2/352 karya M. bin Ahmad Al Hanbali editor Dr. Muhammad Suhaili dan Dr. Nazih Hamad.

[4] Lihat Fathul Bari 13/234.

[5] Lihat Syarah Aqidah Ath Thahawi karya Ali bin Ali bin Abi Izz Al Hanafi halaman 399-400 telah diedit oleh para ulama dan haditsnya telah ditakhrij oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani cetakan Maktab Islami, cetakan IV, 1391 H.

[6] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq Al Mursalah ala Al Jahmiyah wa Al Mu’aththilah 2/350, karya Ibnul Qayyim diringkas oleh Muhammad bin Al Masih, diedarkan oleh Lembaga Kajian Ilmiyah dan Fatwa Riyadh dan lihat Ar Risalah Imam Syafi’i halaman 401, tahqiq Ahmad Syakir terbitan Al Muhtar Al Islamiyyah cetakan II 1399 H, dan lihat Syarah Ath Thahawi halaman 399 karya Ibnu Abil Izz.

[7] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/350.

[8] Lihat Ittihaf Al Jamaah 1/4.

[9] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 19/85.

[10] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/361-362.

[11] Lihat Risalah Wajib Mengikuti Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Menolak Orang Yang Menentangnya, halaman 6-7.

[12] Lihat An Nihayah 3/162-163.

[13] Lihat Shahih Muslim 16/118.

[14] Lihat Al Aqidah fii Allah, karya Umar Sulaiman Al Asyqar, cetakan II, 1969.

[15] Lihat Shahih Bukhari dan Fathul Bari 13/231.

[16] Lihat Al Aqidah fii Allah halaman 51.

[17] Lihat Tafsir Asy Syaukhani 5/60.

[18] Lihat Kewajiban Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 7, karya Syaikh Al Albani.

[19] Lihat Mukhtashar Ash Shawwa’iq 2/352 karya Imam Ibnul Qayyim.

[20] Lihat Shahih Bukhari 13/232.

[21] Lihat Shahih Bukhari 3/261.

[22] Lihat Shahih Bukhari 13/241.

[23] Lihat Shahih Bukhari 13/232.

[24] Lihat Shahih Bukhari 13/232.

[25] Lihat Musnad Ahmad, 6/96, hadits nomor 4157 tahqiq Ahmad Syakir, Imam Ahmad meriwayatkan dengan dua sanad shahih, lihat tentang hadits : “Allah memancarkan cahaya kepada orang yang mendengar kata-kataku, baik secara riwayah maupun dirayah.” Halaman 33 dan seterusnya karya Syaikh Abdul Muhsin bin Muhammad Al ‘Abbad, cetakan Al Rasyid Madinah Al Munawarah, cetakan I, 1401 H.

[26] Lihat Risalah Wajib Mengambil Hadits Ahad Tentang Aqidah halaman 36-39 dan kitab Aqidah halaman 54-55 karya Umar Asyqar.

Anonymous said...

Salam perkenalan saudara Ahmad Albab

Terima kasih atas komen tersebut. Komen tersebut berbau serangan terhadap HT. Dan lama terjawab. Saya tidak mengerti kenapa saudara post di halaman ini. Apakah saudara telah membaca jawapan HT terhadap pertuduhan/serangan ke atas HT wahai saudara Ahmad Albab. Atau belum jumpa jawapan serangan/pertuduhan tersebut.
Apakah saudara sendiri pernah melihat/berbincang (face to face) bersama dengan HT. Adalah dangkal jika saudara cuma membaca pertuduhan/serangan ke atas HT sahaja lalu mengedarkan serangan/tuduhan HT tanpa membaca jawapan HT itu sendiri.

Saudara Ahmad Albab.. Sekiranya saudara ada persoalan dan menginginkan jawapan dari soalan yang saudara temui, silalah emailkan di www.mykhilafah.com

Anonymous said...

Sila berikan jawapannya, jangan kata dah ada jawapannya.

Anonymous said...

ahmad albab, kita perlu bezakan antara tabligh khabar, itsbat khabar dan persaksian (syahadah). Rasanya enta dah tahu...

Perlu dibezakan terlebih dahulu antara itsbat khabar (penetapan berita), khabar (berita), dengan tabligh khabar (menyampaikan berita), dan syahadah (kesaksian).

Itsbat adalah penetapan sesuatu berita dari pandangan sama ada berita itu benar-benar qath’i (pasti) berasal dari sumber asal berita, atau adakah tidak pasti. Contohnya, dalam al-Sunan terdapat hadith yang diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, bahawasanya Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya daripada anggur itu boleh dibuat khamar, dan daripada kurma itu boleh dibuat khamar, daripada madu itu boleh dibuat khamar, daripada gandum itu boleh dijadikan khamar dan daripada biji syair itupun boleh dibuat khamar.” Yang dimaksudkan dengan itsbat khabar adalah adakah khabar yang dibawa oleh Nu’man bin Basyir itu benar-benar pasti (qath’i) khabar dari Rasulullah SAW ataupun tidak pasti? Apabila berita itu boleh dibuktikan benar-benar berasal daripada Rasulullah SAW, maka dari sudut itsbat berita tersebut, ia adalah qath’i berasal daripada Rasulullah SAW. Contoh lain adalah al-Quran al-Karim, adakah al-Quran yang dibukukan dalam mushaf ‘Utsmani itu benar-benar pasti berasal daripada Rasulullah SAW ataupun adakah tidak pasti? Jika ia boleh dibuktikan memang benar-benar berasal daripada Rasulullah SAW, maka al-Quran tersebut adalah pasti berasal daripada Rasulullah SAW. Inilah yang disebut sebagai itsbat.’

Khabar adalah berita, informasi yang dibawa oleh seseorang. Khabar boleh merangkumi masalah ‘aqidah ataupun hukum syara’. Mengikut hadith di atas, yang disebut sebagai khabar adalah matan hadith itu sendiri, yakni: “Sesungguhnya daripada anggur itu boleh dibuat khamar, dan daripada kurma itu boleh dibuat khamar, daripada madu itu boleh dibuat khamar, daripada gandum itu boleh dijadikan khamar dan daripada biji syair itupun boleh dibuat khamar”.

Kesaksian (syahadah) adalah penyampaian khabar (berita) oleh saksi di hadapan qadi yang ada dalam sebuah majlis pengadilan. Kesaksian ini ditetapkan berdasarkan syarat-syarat tertentu. Kesaksian dianggap batal apabila tidak memenuhi nisab (syarat) kesaksian. Misalnya kesaksian dalam masalah perzinaan nisabnya adalah empat orang saksi. Jika kurang daripada empat orang saksi (laki-laki) maka kesaksiannya ditolak. Dalam ru’yatul hilal (melihat anak bulan), saksi cukup hanya satu orang sahaja. Untuk masalah mu’amalah, disyaratkan dua orang saksi (seperti dalam hal pinjaman).

Ini berbeza dengan masalah tabligh. Tabligh tidak disyaratkan jumlah tertentu. Satu orang dianggap sah untuk mentablighkan (menyampaikan) Islam, baik sama ada berkaitan masalah ‘aqidah mahupun hukum syara’.

Tabligh khabar adalah menyampaikan informasi kepada orang lain. Contohnya ada maklumat tentang kecelakaan jalan raya. Kemudian anda menyampaikan maklumat ini kepada orang lain yang jauh dari lokasi kecelakaan dan anda tidak melihat secara langsung peristiwa kecelakaan tersebut. Aktiviti menyampaikan maklumat kepada orang lain ini disebut dengan tabligh khabar. Misalnya Ali RA menyampaikan surah al-Taubah kepada penduduk Yaman. Adakah yang dilakukan oleh ‘Ali RA tersebut termasuk sebahagian daripada tabligh khabar?

Tabligh khabar berbeza dengan istbat khabar. Tabligh adalah menyampaikan khabar tanpa melihat sama ada sahih atau tidaknya berita yang disampaikan dan juga tidak disyaratkan jumlah tertentu (sebagaimana dalam kesaksian). Tabligh akan terus berlaku sehingga ke akhir zaman.

Penetapan sesebuah berita (itsbat) adakah sama ada ia mutawatir ataupun tidak, sudahpun selesai dilakukan dan ia hanya terjadi pada thabaqat pertama (zaman sahabat).

Memang benar Rasulullah SAW telah mengutuskan seorang sahabat atau beberapa orang sahabat untuk menyampaikan Islam kepada sekelompok masyarakat dan raja-raja. Rasulullah SAW juga pernah mengutuskan ‘Ali RA untuk membacakan surah at-Taubah kepada sekelompok masyarakat. Riwayat-riwayat seperti ini sangat banyak jumlahnya.

Akan tetapi riwayat ini hanya menunjukkan penerimaan khabar ahad dalam masalah tabligh. Baik sama ada tabligh yang berkaitan dengan ‘aqidah mahupun hukum. Tetapi riwayat-riwayat seperti ini tidak menunjukkan diterimanya khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak boleh dikatakan bahawa penerimaan terhadap tabligh Islam adalah sama juga ertinya dengan menerima khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah. Tidak boleh dinyatakan seperti itu kerana penerimaan terhadap tabligh Islam berbeza dengan penerimaan khabar ahad sebagai dalil dalam masalah ‘aqidah.

Dalilnya adalah seperti berikut;
Muballigh (orang yang menyampaikan berita) mesti dapat membuktikan dengan akalnya bahawa apa yang disampaikannya itu benar-benar meyakinkan. Jika berita yang dibawa itu benar-benar meyakinkan (qath’i), muballigh harus meyakini berita yang dibawanya itu dan ia dianggap kafir jika tidak meyakini berita yang telah jelas-jelas qath’i itu. Ini menunjukkan bahawa khabar yang dibawa oleh muballigh harus melalui proses itsbat terlebih dahulu. Ini bererti, dirinya harus melakukan proses itsbat terlebih dahulu sebelum ia menyampaikan berita kepada masyarakat. Ini berbeza dengan orang yang menerima tabligh. Ia boleh menolak khabar yang dibawa oleh seseorang sama ada adakah khabar itu berkaitan dengan masalah ‘aqidah ataupun hukum. Penolakan dirinya terhadap tabligh khabar tentang Islam tidak dianggap sebagai kekafiran. Akan tetapi, jika ia menolak Islam yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’i), hal seperti inilah yang boleh dianggap sebagai tindakan kekufuran.

Wallahu'alam... Jawapan memang dah ada, enta je yang tak nak cari dulu sebelum bertanya kepada tuan rumah. Ataupun mungkin enta dah cari tapi tak jumpa. Selamat membaca.

Anonymous said...

Untuk mengikuti pembahasan yang lebih teliti dan mendalam, dipersilakan berkunjung ke laman web berikut;

http://syariahpublications.com/2007/03/05/khobar-ahad-dalam-aqidah/

Anonymous said...

ahmad albab tuh dia copy paste jer
huhuhu besa r tuh betul r ht tuh dia x kacau anta pun ahmad albab. tujuan dia nak kembalikan kehidupan islam.
tp sayang ahmad albab datang untuk hancurkannya...

Panglima Kungfu said...

Salam semua..nmpk nye komentar disini meng'hidden'kan nama/identiti. Harap disini tiada yg menghentam dr segi penggunaan bahasa pulak ye..uhuhu..(maybe takde apa nk dihebahkan, agaknya lah..)

Saudara ahmad albab..

itu adalah style/cara wahabi menyerang HT. Mereka berpandangan dalil yang tidak qath'ie pun boleh dijadikan hujah aqidah, sedangkan HT meyakini aqidah hanya boleh diambil dari dalil yang qath'ie.

Perlu dibezakan, untuk aqidah wajib diambil dari sumber yang qath'ie(pasti), tetapi bagi soal amal boleh dibangun dari dalil yang zanni. iniikhtilaf sejak wujudnya sususan hadith.

Wahabi dah mmfitnah HT sekian lama, mlh mrk serang semua gerakan Islam lain dgn menuduh firqah nijihah, masuk neraka!!

nampaknya soalan2 terhadap HT hanya menyerlahkan kejahilan saudara, bagaimana nak berhujah. apa kata kita jumpa, dah berhujah dengan penuh ukhwah?

kalau saudara benar2 ikhlas, jom jumpa dgn HT. kalau dekat leh jumpa. Kalau jauh, ada je syabab yang berdekatan dgn saudara.

Anonymous said...

Minta tolong bagi hujah ulama'ulama muktabar tentang hadis ahad.

Anonymous said...

1. Ia (i.e. hadis ahad) memberi Faedah Zan sahaja tidak memberi faedah yakin dan tidak pula ketenangan, wajib beramal dengannya di dalam masalah-masalah hukum furu' tidak di dalam masalah Iktikad kerana diragui tsabitnya.
[ Al-Wastih fil Usul Fiqh Al-Islami li Dr Wahbah Zuhaili halaman 245]

2. Imam Ghazali pernah berkata, “Khabar ahad tidak memberi faedah ILMU, hal ini adalah perkara yang sedia maklum, dan apa yang dipetik dari perkataan ahli hadis bahawa ia wajib ilmu, sebenarnya boleh jadi mereka inginkan dengan wajib beramal itu ialah wajib mengamalkannya apabila ianya dikatakan zan Ilmu, kerana sebahagian mereka berkata “ Khabar ahad mewariskan ilmu zahir, dan sedangkan ilmu tidak ada yang zahir dan batin, tapi ianya tetap zan”

[Al-Mustafa fil Usul, Imam Ghazali rh]

3. “Khabar ahad (Hadis ahad) itu ialah khabar yang wajib diamalkan dan tidak membawa kepada ilmu (keyakinan yang muktamad) kerana berkemungkinan mengandungi kesalahan”

[Waraqat Imamil Haramain fil Usul fiqh, al-Juwaini, perkara 77, ms 56]

4. Al-Hafiz Ibnu Hajar dan jumhur ulama', kecuali Imam Ahmad, berpendapat bahawa hadis ahad tidak menghasilkan ilmu (keyakinan) sehingga tidak layak sebagai sumber akidah, senada dengan pendapat jumhur ulama', Imam Asnawy al-Baghdadi, Imam An-Nawawi, Ibnu Solah, Imam Basdawly, Imam Abd al-Bar, Imam al-Ghazali dan lain-lain.

[Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari'ah, Bab Aqidah]

5. Al-Kasany menyatakan, "Jumhur fuqaha sepakat bahawa hadis ahad yang tsiqah (terpercaya) boleh digunakan sebagai dalil dalam masalah amal (hukum syarak) namun tidak boleh dalam masalah aqidah (keyakinan)".

[Badaai al-Shanaai, juz 1, halaman 20, al-Kasany]

Selebihnya ada dirumuskan dalam risalah kecil yang bertajuk "Pendapat dan Sikap Para Ulama Terhadap Khabar Ahad dalam Masalah Aqidah". Maaf sebab saya tak mempunyai soft-copy risalah tersebut. Insya Allah, sekiranya berminat, saya boleh tolong fotostat dan poskan (terhad kepada mereka yang di Malaysia sahaja). Sila tinggalkan alamat anda di sini (minta izin ye tuan rumah blog ini... hehe)

Wallahu'alam...

Panglima Kungfu said...

=) tidak mengapa..semua dipersilakan..

Related Posts with Thumbnails