Pernahkah para pembaca membaca artikel mengenai Ibnu Taimiyah dalam situs ini (kaunee.com)? Tulisan itu berjudul "Ibnu Taimiyah, Keilmuannya Mencapai Derajat Ijtihad Ilmu Dan Seni". Berikut ini mari kita simak kembali penggalan hidup beliau lainnya.
Pada tahun 698 H, Sultan Gazan, penguasa keempat dari keturunan penguasa Tartar yang menganut agama Islam, mengerahkan pasukannya dari wilayah Iran menuju Kota Halab (di kawasan Syam). Setibanya di tempat bernama Wadi Salmiyah, pasukannya bertemu dengan bala tentara Nashir bin Gulawun. Kedua pasukan besar itu terlibat pertempuran dahsyat. Pasukan sultan Gazan berhasil memukul mundur pasukan Nashir bin Gulawun hingga ia melarikan diri ke wilayah Mesir. Kota Damaskus pun ditinggalkan oleh para penguasa sebelumnya.
Ibnu Taimiyah, yang tinggal di Damaskus, berinisiatif untuk mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat yang bertahan di kota Damaskus. Pertemuan menghasilkan kesepakatan untuk mengirimkan utusan menghadap sultan Gazan. Ibnu Taimiyah ditunjuk menjadi pemimpin utusan tersebut.
Sesampainya di tempat sultan Gazan, Ibnu Taimiyah langsung berkata kepada Sultan, “Anda beragama Islam dan mengaku bahwa dalam pemerintahan Anda ada Qadhi (hakim), para imam, syaikh, muazin dan sebagainya. Akan tetapi, mengapa Anda menyerbu wilayah kami? Untuk apa? Sedangkan kakek dan ayah Anda yang beragama Nasrani saja tidak pernah berkhianat. Bukankah sudah ada perjanjian untuk tidak saling menyerang? Sayang, Anda mengkhianati dan menginjak-injak perjanjian tersebut.”
Sultan Gazan kemudian mengajak rombongan itu makan bersama, namun Ibnu Taimiyah menolak ajakan tersebut, sehingga sultan Gazan bertanya, “Mengapa Anda tidak mau makan bersama kami?”
Ibnu Taimiyah menjawab, “Haruskah saya memakan hasil rampasan? Kambing yang Anda sembelih adalah kambing milik penduduk. Anda pun memasaknya dengan potongan kayu yang berasal dari pepohonan milik penduduk.”
Mendengar penuturan Ibnu Taimiyah, Sultan Gazan pun tertunduk malu. Diam-diam dia merasa terharu, dan muncul perasaan kagum pada dirinya, sehingga ia bertanya kepada pengawalnya, “Siapa gerangan orang tua ini? Sungguh, aku belum pernah melihat orang seberani ini. Aku tertarik kepadanya dan belum pernah aku tunduk terhadap orang lain seperti ini."
Ibnu Taimiyah kemudian memperkenalkan dirinya kepada Gazan. Gazan pun meminta Ibnu Taimiyah mendoakannya. Imam Ibnu Taimiyah lalu menengadahkan tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, jika hamba-Mu ini benar-benar berperang untuk meninggikan kalimat-Mu dan dalam rangka menegakkan agama-Mu, maka berikanlah pertolongan dan kemenangan baginya. Berilah dia kekuasaan untuk memimpin negara dan umat ini. Akan tetapi, jika dia berperang hanya untuk menambah kebesarannya, untuk memperoleh dunia, merendahkan Islam dan umatnya, maka binasakanlah dia dan hancurkanlah kekuasaannya.”
Sultan Gazan yang mendengar doa Ibnu Taimiyah dengan khusyuk mengaminkannya dengan penuh harapan.
Adakah saat ini ulama-ulama kaum muslim yang berani melakukan koreksi dan kritikannya setajam Ibnu Taimiyah? (arnab) (dikutip dari majalah Al-?Wa’ie no. 09 tahun 1, 1-31 Mei 2001)?
No comments:
Post a Comment